Jumat, 09 Desember 2011

Teori Nativisme dan kognitivisme

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
     Dalam kajian linguistik terdapat banyak teori pemerolehan bahasa, tetapi secara keseluruhannya, teori-teori tersebut digolongkan kepada dua golongan besar yaitu Teori Mekanis dan Teori Mentalis. Noam Chomsky meletakkan teori Mekanis sebagai Teori Empirisis dan Teori Mentalis yang digerakkannya sendiri sebagai Teori rasionalis. Sementara W.M. Rivers pula menyebut Teori Mekanis sebagai Teori Aktivis dan Teori mentalis pula sebagai teori Formalis. Aliran yang terbentuk daripada kedua-dua teori ini disebut pula sebagai Aliran Behaviourisme dan Aliran Mentalisme.
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Selain itu pendapat lain yang berbeda dengan teori behavioristik adalah teori kognitivisme yang menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan lingkungannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka kami membuat suatu makalah yang berjudul “Teori Nativisme dan Teori Kognitivisme”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, timbul beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.         Hakikat Teori Mentalisme/Nativisme?
2.        Prinsip-Prinsip Teori Mentalisme/Nativisme?
3.        Hakikat Teori Kognitivisme?
4.        Prinsip-Prinsip Teori Kognitivisme?
5.        Implikasi Teori Mentalisme dan Kognitivisme Bagi Pengajaran Bahasa?

C.    Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Teori Mentalisme dan Kognitivisme.

D.       Manfaat
Adapun manfaat yang dapat penulis peroleh dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.      Dapat menambah wawasan mengenai Teori Mentalisme dan Teori Kognitivisme.
2.      Melatih kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah.






BAB II
PEMBAHASAN

A.        Teori Nativisme/Mentalisme

1.      Hakikat Teri Mentalisme/Nativisme
Istilah nativis diambil dari pernyataan dasar mereka bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik  yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita.
Hipotesis sifat bawaan ini memperoleh dukungan dari beberapa kubu. Erik Lenneberg (1967) menyatakan bahwa bahasa adalah perilaku “spesifik/spesies” dan bahwa beberapa mode resepsi, kategorisasi kemampuan dan mekanisme-mekanisme lain yang berhubungan dengan bahasa ditentukan secara biologis. Chomsky (1965) juga mengemukakan adanya ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak-anak dalam tempo begitu singkat sekalipun ada sifat abstrak dalam kaidah kaidah bahasa tersebut. Pengetahuan bawaan ini menurut chomsky, diumpamakan dengan “kotak hitam kecil” di otak, sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau language acquisition device (LAD). McNeill (1966) memaparkan LAD meliputi empat perlengkapan liguistik bawaan:
1.      Kemampuan membedakan bunyi bicara dari binyi-bunyi lain di lingkungan sekitar.
2.      Kemampuan mendata data linguistik ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian.
3.      Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem linguistik tertentu yang mungkin sedangkan yang lainnya tidak.
4.      Kemampuan untuk terus mengevaluasi sistem linguistik yang berkembang untuk membangun kemungkinan sistem paling sederhana berdasarkan masukan linguistik.
McNeill dan para peneliti lain dalam tradisi chomskyan secara meyakinkan berpendapat mengenai gagasan LAD, yang sangat bertolak belakang dengan teori stimulus/respon (S-R) aliran behavioristik yang begitu terbatas dalam menjelaskan kreativitas yang terdapat dalam bahasa anak-anak. Gagasan tentang bakat linguistik bawaan sepenuhnya cocok dengan teori generatif anak-anak diyakini memanfaatkan kemampuan bawaan untuk menghasilkan jumlah ujaran yang kemungkinannya tak terhingga. Aspek-aspek makna, keabstrakan dan kreativitas dijelaskan secara lebih memadai. Walaupun diakui bahwa LAD secara harfiah bukanlah segugus sel otak yang bisa ditunjuk  dan ditentukan letaknya, penyelidikan sisi kognitif dan keterhubungan linguistic psikologis semacam itu mendorong banyak penelitian berfaedah.
Belakangan ini para peneliti dalam tradisi nativis melanjutkan alur penyelidikan ini melalui sebuah genre penelitian pemerolehan bahasa anak yang berfokus pada apa yang kemudian dikenal sebagai Tata Bahasa Universal (white, 2003; lihat juga Gass & Selinker, 2001, h. 168-191; Mithchell & Myles, 1998, h, 42-71; Cook, 1993, h. 200-245, untuk garis besar). Berpegang pada asumsi bahwa manusia secara genetic dilengkapi kemampuan yang memungkinkan mereka menguasai bahasa , para peneliti memperluas gagasan LAD dengan menyajikan suatu system kaidah bahasa universal, sebuah gagasan yang lantas melampaui usulan semula mereka untuk LAD. Penelitian Tata Bahasa Universal  atau Universal Grammar (U-G) berusaha mencari tahu apa yang dibawa oleh setiap anak, terlepas dari stimoly lingkungan mereka (yakni (bahasa-bahasa) yang mereka dengar disekitar mereka), dalam proses pemerolehan bahasa. Kajian-kajian semacam itu menelaah pembentukan pertanyaan, penyangkalan, susun kata, diskontinuitas klausa melekat (“The ball that’s on the table is blue”), pelenyapan subjek (“Es mi hermano”), dan berbagai fenomena gramatikal lainnya. (uraian lebih rinci tentang UG disajikan dalam subbab berikutnya).
Salah satu konstribusi praktis dari teori-teori nativis nampak jelas ketika Anda membaca berbagai temuan yang dihasilkan tentang system bahasa anak-anak bekerja. Penelitian menunjukkan bahasa anak-anak, pada tingkatan manapun, adalah sebuah system yang diakui. Perkembangan linguistic anak-anak bukanlah proses semakin berkurangnya struktur-struktur yang “tidak tepat” bukan sebuah bahasa dimana tahap sebelumnya mengandung lebih banyak “kekeliruan” ketimbang tahap selanjutnya. Justru, bahasa anak-anak di setiap atahap adalah sistematis dalam arti  anak-anak secara ajek membentuk hipotesis-hipotesis berdasarkan masukan yang diterima dan kemudian menguji hipotesis-hipotesis itu dalam percakapan (dalam kemampuan memahami). Ketika bahasa anak-anak berkembang hipotesi-hipotesis itu direvisi terus-menerus, dibentuk ulang atau ada kalanya ditinggalkan.
Sebelum linguistik generative menjadi popular, Jean Berko (1958) sudah menunjukkan bahwa anak-anak meempelajari bahasa bukan sebagai rangkaian komponen yang terpisah-terpisah sebagai sistem terpadu. Menggunakan pendekatan dengan kata-kata tanpa makna, Berko mendapati bahwa anak-anak berbahasa Inggris yang umurnya empat tahun pun sudah menerapkan kaidah-kaidah dalam pembentukan kata jamak, waktu sekarang progressif, waktu lampau, orang ketiga tunggal, dan posessif. Dia mendapati, misalnya bahwa jika anak-anak melihat gambar sebuah benda yang diberi nama “wuk” dengan mudah mereka berbicara tentang dua buah “wuks”, atau jika mereka diperkenalkan pada seseorang yang bias melakukan “gling”, anak-anak bias berbicaar tentang sesorang yang kemarin melakukan “glinged” atau kadang-kadang “glang”.
Kajian nativis mengenai pemerolehan bahasa anak-anak menghasilkan sebuah hipotesis tentang tata bahasa bebas-susun (that is, description of linguistic systems) pada bahasa anak-anak, walaupun tata bahasa semacam itu masih sangat didasarkan pada data empiris. Tata bahasa ini pada umumnya adalah representasi struktur dalam seperangkat kaidah yang mendasari ujaran dipermikaan, struktur yang tidak muncul dalam pembicaraan. Para ahli bahasa mulai mengkaji bahasa anak-anak dari bentuk-bentuk ringkas “mirip telegram” (seperti “allgone milk” dan “baby go boom yang disebutkan di atas) hingga bahasa kompleks  pada anak-anak usia lima tahun sampai sepuluh tahun. Meminjam salah satu dogma dari paradigma structural dan behavioristik, mereka mengolah data dengan prasangka minimal tentang bagaimana mestinya bahasa anak, dan mengamati data untuk melihat system yang konsisten dalam diri seseorang, sebagaimana linguis menjelaskan bahasa di “lapangan”.
Sebuah kerangka generative ideal untuk menjelaskan proses-proses semacam itu. Tata bahasa awal pada bahasa anak-anak disebut tata bahasa poros (pivot grammars). Umumnya diakui bahwa ujaran dua kata pertama oleh anak-anak menampakkan adanya dua kelompok kata yang terpisah, jadi bukan sekadar dua kata dilontarkan bersama-sama secara acak. Perhatikan ujaran-ujaran berikut: “my cap”; “that horsie”; “bye-bye jeff”; “mommy sock”. Para ahli bahasa mengatakan bahwa kata-kata disisi kiri tampaknya masuk dalam kelompok tersendiri yang tersendiri yang berbeda dengan di sisi kanan. Kata-kata di kelompok pertama kita sebut “poros”, sebab mereka bias berputar di antara sejumlah kata dalam kelompok kedua yang “terbuka”. Dengan demikian kaidah pertama tata bahasa generative anak-anak dideskripsikan sebagai berikut:
Kalimat              kata poros + kata terbuka
Data yang dihimpun dalam penelitian generative menghasilkan banyak sekali kaidah semacam itu. Sebagian dari kaidah-kaidah itu tampaknya  didasarkan pada Tata Bahasa Universal anak-anak. Ketika bahasa anak-anak menjadi matang dan akhirnya mirip bahasa orang dewasa, kompleksitas dan banyaknya kaidah-kaidah generative yang mewujudkan kompetensi berbahasa yang sangat mengagumkan.
2.       Faktor-faktor perkembangan manusia dalam teori ini
a.       Faktor genetic
Faktor genetic adalah faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar.
b.      Faktor Kemampuan Anak
Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya.
c.       Faktor pertumbuhan Anak
Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.

3.       Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
            Di dalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan :
a.       Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.
b.      Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.
c.       Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Dengan adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
d.      Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
e.       Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, denga artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan baakatnya sehingga bisa lebih optimal.
4.       Aplikasi pada masa sekarang
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860)).
Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatihan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
            Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi jug bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.
B.        Teori kognitivisme
1.      Hakikat Teori kognitivime
Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan mereka tentang dunia.
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Menurut Drever (Kuper & Kuper, 2000) disebutkan bahwa ” kognisi adalah istilah umumyang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penialain, dan penalaran”.Sedangkan menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa ” kognitif adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya”. Pieget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam menyusunpengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi.
Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa “kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.
Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan lingkungannya.
2.      Kognitivitisme dan pemerolehan bahasa
            Ahli psikologi yang pertama membicarakan pandangan kognitivisme adalah Dan Slobin (Wardhaugh, 1976). Slobin mengatakan bahwa seorang anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky LAD. Slobin mengetakan bawa yang dibawa lahir itu bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistic yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosuder dan kaidah-kaidah bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang anak mengolah data linguistik. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah factor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh B1 dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dari fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang dipunyainya. Menurut Slobin, pemerolehan linguistik sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.
            Slobin dan rekan-rekannya telah mengadakan eksperimen-eksperimen yang luas apda anak-anak-anak yang belajar bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Finlandia, dan Turki. Berdasarkan hasil penemuannya, Slobin mengatakan bahwa ujaran-ujaran yang terdiri dari dua atau tiga kata menunjukkan bagaimana bahasa seorang anak (B1) berkembang, yakni dengan adanya hubungan semantic dengan bentuk.
            Hubungan antara semantik dengan bentuk telah diteliti pula secara luas oleh Brown & Slobin yang dikutip oleh Wardhaugh. Mereka bersepakat bahwa seorang anak mengungkapakn makan lama dahulu; kemudian makna baru yang diperolehnya diungkapkan dengan menggunakan bentuk-bentuk yang lama. Contoh dalam bahasa Inggris adalah: “Dog chases cat” (anjing mengejar kucing). Kemudian makna baru: “kucing dikejar anjing,” yang masih sukar diungkapakn oleh anak itu dengan bentuk baru menjadi: “Cat chases dog”. Unkkapan ini merupakan tanda kemajuan dalam kognitif anak, yang sejajar dengan bertambah usia. Makin bertambahnya usia anak, makin bertambah pula kemampuan kognitif anak itu. Anak mulai mampu melepaskan diri dari situasi sekarang dan tempat ini, dan mampu memikirkan dirinya berada dalam waktu  dan di tempat lain, serta mulai meninjau keadaan-keadaan dari segi-segi perspektif lain. Kemajuan ini memungkinkan seorang anak mengungkapkan makna-makna baru secara bertahap.
            Menurut Slobin, urutan penguasaan bahasa bergantung pada tingkat kesukaran semantik dan bukan pada tingkat kesukaran bentuk bahasa. Akan tetapi, demikian Slobin, apabila ada kategori semantic sederhana yang memerlukan pengungkapan bahasa yang rumit maka prinsip di atas tidak selalu benar. Sebagai contoh, slobin mengambil struktur bahasa dalam bahasa Inggris yang disebut tag question yang masih sulit bagi seorang anak, karena menuntut pengetahuan system-sistem interogatif, negative, pronominal (kata ganti), dan ellipsis. Contoh-contoh adalah: “You’re going, aren’t you?” (Anda pergi, bukan?). oleh karena sulitnya bentuk ini, seorang anak cenderung untuk menggunakan bentuk-bentuk sebagai berikut: “You going, huh?”, dan sebagainya.
            Menurut hipotesis kognitivisme ini, seorang dewasa yang memperoleh B2 juga mengalami proses yang sama seperti seorang anak, kecuali bahwa orang dewasa tidak mengalami tahap mengecoh, tahap dua-tiga kata, dan sebagainya; tetapi mulai menghubungkan bentuk dan fungsi bahasa; dan bahwa ia belajar mengungkapkan nonsep-konsep baru dengan menggunakan bentuk-bentuk yang lama. Teori bahasa urutan penguasaan bahasa bergantung pada tingkat kesukaran semantic dan bukan pada tingkat kesukaran bentuk bahasa  dalam perkembangan B2 seorang dewasa member dampak yang besar pada teori pengajaran bahasa pada umumnya.
3.       Perkembangan Kognitif pada Anak-anak
Perkembangan kognitif pada anak-anak disebut tahap praoperasional, yang berlangsung antara usia 2 sampai 7 tahun.Pada masa ini konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian melemah, serta terbentuknya keyakinan pada hal magis. Namun pada masa ini anak masih tetap memikirkan pada peristiwa-peristiwa atau pengalaman-pengalaman yang dialaminya.
Pemikiran praoperasional tidak lain adalah suatu masa tunggu yang singkat bagi pemikiran operasional, sekalipun pada masa ini menekankan bahwa anak belum berpikir secara operasional. Secara garis besar pemikiran praoperasional terbagi dua subtahap (Heterington & Parke, 1979, Seifert & Hofnung, 1994), antara lain :
1. Subtahap Prakonseptual (2 – 4 tahun)
Subtahap Prakonseptual disebut juga pemikiran simbiolik (symbiolic trought) karena karakteristik utama pada tahap ini ditandai dengan munculnya sistem-sistem lambang atau simbol, seperti bahasa.
Pada tahap ini anak-anak mengembangkan kemampuan untuk menggambarkan atau membayangkan secara mental suatu objek yang tidak ada (berbeda dengan yang lain). Seperti contoh sebuah pisau yang terbuat dari plastik merupakan suatu yang nyata yang dapat mewakili hal sebenarnya. Pencapaian kognitif pada subtahap praoperasional itu ditandai dengan kemunculan pemikiran simbolis. Anak akandapat dengan mudah mengingat kembali dan membandingkan objek-objek serta pengalaman-pengalaman yang diperolehnya jika pengalaman tersebut mempunyai nama dan konsep yang dapat menggambarkan karakteristiknya. Simbol-simbol juga membantu anak-anak mengkomunikasikan kepada orang lain tentang apa yang mereka ketahui sekalipun dalam situasi yang jauh dengan pengalamannya sendiri.
2. Subtahap Intuisif (4 – 7 tahun)
Dalam subtahap ini meskipun aktivitas mental tertentu terjadi, tetapi anak-anak belum begitu sadar mengenai prinsip-prinsip yang ,elandasi terbentuknya aktivitas tersebut. Walaupun anak mampu memecahkan masalah yang berhubungan dengan aktivitas ini, namun ia tidak bisa menjelaskan alasan yang tepat untuk memecahkan maalah dengan cara-cara tertentu.
Dengan demikian meskipun simbol-simbol anak meningkat, namun proses penalaran dan pemikirannya masih mempunyai ciri-ciri keterbatasan tertentu. Perkembangan kognitif dari anak-anak praoperasional juga ditunjukkan dengan serangkaian pertanyaan yang diajukannya yang tidak jarang orang dewasa merasa kebingungan untuk menjawabnya
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN.

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan maka penyusun dapat menarik beberapa simpulan yaitu:
1.      Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena itu fator lingkungan termasuk factor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetic dari kedua orangtua.
2.      Kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan lingkungannya.





DAFTAR PUSTAKA
Nurhadi dan Roekhan. 1990. Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru-YA3 Malang.
Noor Cholis dan Yusi Avianto Parenom. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Subyakto, Nababan, dan Sri Utari. 1992. Psikolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2010. “Teori Nativisme”. Online: http://kharis90.wordpress.com/  (28 Februari 2011)
2008. “Teori Kognitif”. Online: http://starawaji.wordpress.com/ (28 Februari 2011)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar